• Minggu, 07 Oktober 2012

      Seandainya Mau, Gus Dur bisa Tetap jadi Presiden



      Jakarta, NU Online
      Jika kita menonton TV, membaca koran, situs berita atau informasi berita lainnya, rasanya tiada hari tanpa pemberitaan pejabat yang sedang terkena kasus korupsi. Untuk meraih jabatan, seseorang harus mengeluarkan uang untuk membeli dukungan, ketika berkuasa sibuk mengumpulkan uang agar balik modal dan ketika terkena kasus pun harus habis-habisan mengeluarkan uangnya untuk mengamankan diri agar tidak masuk bui.

      Demikianlah kondisi negeri tercinta ini, semuanya sudah silang sekarut, tak tahu mana ujung dan pangkal untuk menyelesaikan masalah ini. Siapa orang yang sebenarnya bersih dan siapa yang menggunakan topeng kepalsuan, susah sekali membedakan.

      Gus Dur bisa menjadi teladan bagaimana ia tak mau takluk oleh bujukan untuk mempertahankan kekuasaannya sebagai presiden dengan segala cara.

      Masa bulan madu Gus Dur sebagai presiden tak berlangsung lama. Setelah itu, pelan tapi pasti, ia dirongrong dan dicari-cari kesalahannya, termasuk kelompok yang pada awalnya mendukung pencalonannya. Sampai pada titik tertentu, direncanakanlah sidang istimewa MPR untuk menjatuhkannya.

      Disinilah awal mula cerita. Salah satu mantan anggota DPR RI yang tidak mau disebut namanya menuturkan, sebenarnya, Gus Dur bisa saja mempertahankan diri dari jabatannya sebagai presiden. Lalu bagaimana caranya.

      Saat itu ada pihak yang menawarkan strategi agar sidang MPR tidak mengalami quorum, yaitu dengan memberi “stimulus” kepada sejumlah anggota MPR agar tidak datang ke persidangan. Dihitung-hitung, jumlahnya sudah cukup untuk membatalkan sidang istimewa tersebut. Stimulus yang diperlukan juga sudah ada yang menanggung dengan jumlah yang cukup.

      Lalu, rencana tersebut disampaikan kepada Gus Dur, tetapi ia menolaknya.

      “Gus Dur tidak mau kompromi dengan kelompok yang dianggap salah, kalau mau menerima berarti ada kompromi,” katanya sambil mewanti-wanti agar namanya tidak disebut.

      Akhirnya, pelaksanaan Sidang Istimewa MPR pun berlangsung mulus dan Gus Dur lengser dari jabatannya sebagai presiden dengan gagah karena baginya, jabatan adalah sebuah amanah.

      Atau jangan-jangan ia sebenarnya sudah tahu bahwa dirinya hanya ditugaskan untuk mengantarkan Indonesia dari masa peralihan yang penuh risiko. Ketika mau jadi presiden, ia banyak bercerita tentang rencananya akan jadi presiden, tetapi ketika mau lengser, tak ada cerita apapun yang disampaikan. Tapi jika kita menengok fenomena Arab Spring di Timur Tengah yang bergejolak dan menimbulkan banyak korban, Indonesia patut bersyukur. Disana, untuk mempertahankan kekuasaan, seorang presiden rela mengorbankan ribuan nyawa. Satu kelompok juga tidak mau berkompromi dengan yang lain untuk kepentingan bersama dengan memaksamakn kehendaknya sehingga rakyat kebanyakan menderita.

      Entah sampai kapan kondisi tersebut berakhir. Gus Dur telah menyelesaikan tugasnya mengawal masa transisi Indonesia yang sangat rawan dengan baik, wallahu a’lam.



      Penulis: Mukafi Niam

      Gus Dur Dimata Cak Nun



      Adalah budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) yang mengibaratkan mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai sosok yang bukan “cassing” (wadah/tempat menyimpan perangkat HP atau handphone). “Gus Dur itu bukan `cassing`, tapi HP (telepon seluler), karena itu beliau tidak perlu pencitraan, sehingga beliau tidak merasa perlu berpakaian `necis` (tampilan rapi atau terpelajar),” ucapnya. Ketika hadir bersama kelompoknya dalam peringatan tujuh hari wafatnya Gus Dur di kompleks Pesantren Tebuireng, Jombang, Selasa (5/1), ia mengungkapkan Gus Dur tidak pernah membedakan siapa pun. “Siapa pun yang mengundang beliau, beliau pasti datang, apakah pengundang itu pejabat atau orang biasa yang hidupnya di gunung-gunung,” ujar suami artis Novia Kolopaking itu. Bahkan, tuturnya, jabatan bagi Gus Dur juga bukan sesuatu yang sangat luar biasa, sehingga saat dimakzulkan pun dia tetap tidak merasakan kehilangan apa pun. “Karena itu, beliau keluar dari Istana Negara dengan mengenakan celana kolor. Itu menunjukkan bahwa kekuasaan atau jabatan baginya bukan apa-apa,” ujarnya. Cak Nun yang “direktur” dari kelompok musik “Kiai Kanjeng” itu memaparkan dirinya bersama sang istri sempat menemui Gus Dur di Istana Negara saat detik-detik terakhir hendak dimakzulkan. “Saya tanya, Gus, Sampean (Anda) itu bagaimana, dimakzulkan kok guyon (berkelakar) terus. Apa jawab Gus Dur?. Beliau menjawab dengan enteng, biasa-lah, namanya teplek (main judi) itu ya ada kalah, ada menang,” tukasnya, tersenyum mengenang. Dalam kesederhanaan itu, kata budayawan yang dekat dengan Gus Dur itu, selepas dari kursi kepresidenan, Gus Dur tetap berkeliling untuk menyampaikan pemikirannya kepada masyarakat di seantero nusantara dan bahkan lintas negara. “Karena itu, Gus Dur nggak memerlukan gelar pahlawan, bahkan saya yakin keluarga juga tidak memerlukan itu, apalagi kalau harus mengemis segala. Itu semua karena Gus Dur memang bukan `cassing` yang memerlukan pencitraan, melainkan Gus Dur adalah HP yang justru punya sinyal kemana-mana,” ujarnya.
      Sumber:
      http://www.nu.or.id

      Rekonsiliasi NU-PKI Sudah Lama Terjadi




      Desakan sejumlah kelompok agar NU mau melakukan rekonsiliasi dengan mantan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan keturunannya dinilai tidak relevan. NU selama ini tidak menyimpan dendam dan usaha rekonsiliasi sudah dipraktikan kiai-kiai NU sejak dulu dengan penuh kesadaran.

      Demikian pandangan sejarawan NU Agus Sunyoto di sela acara Tahlil dan Doa Bersama untuk Para Kiai dan Santri Korban Kekejaman PKI Tahun 1948-1965 di Gedung PBNU, Jakarta Pusat, Senin (1/10) malam. Turut berbicara dalam forum ini, Wakil Ketua Umum PBNU KH As’ad Said Ali dan sejumlah aktivis senior NU, seperti Khalid Mawardi, Baidlawi Adnan, dan Abdullah Syarwani.

      Agus menyatakan, fakta itu bisa ditelusuri setelah maraknya janda-janda dan anak-anak yatim dari keluarga PKI akibat Operasi Trisula di Blitar, Jawa Timur. Kiai-kiai NU secara bijak mengambil anak tanpa ayah itu untuk dipesantrenkan, disekolahkan, dan dibesarkan.

      “Anak-anak inilah yang akhirnya, karena walinya atas nama kiai-kiai tadi, ya mereka bisa jadi pegawai negeri, di departemen agama, di mana-mana,” imbuhnya.

      Rekonsiliasi, demikian Agus, juga bisa ditemukan di Desa Trisulo, Kecamatan Plosoklaten, Kabupaten Kediri, yang saat itu seratus persen warganya anggota PKI. Karena trauma, penduduknya tak menerima ormas apapun masuk ke desa itu. Namun, KH Ishom Hadziq justru berhasil mengikat persaudaraan dengan membentuk ranting NU Trisulo dan ranting Ansor Trisulo pada tahun 1997.

      Penulis buku Banser Berjihad Menumpas PKI ini merasa janggal ketika sejumlah media mendorong rekonsiliasi, sebuah ajakan yang sebetulnya sudah dilakukan sejak lama. “Itu fakta. Jadi nggak usah ngomong rekonsiliasi. Yang dilakukan para kiai sudah seperti itu,” tegasnya.

      Agus menduga ada kepentingan pihak ketiga yang sedang menunggangi tuntutan ini, termasuk upaya pembelokkan sejarah kekejaman PKI. “Kalau ada yang seperti ini mereka (keluarga PKI, red.) pasti ketakutan. Karena setting ini pasti bukan keinginan dari anak-anak PKI itu. Pasti ada pihak lain.”

      Presiden Filipina Sepakat Akhiri Pemberontakan Muslim



      Filipina (AFP/ANTARA) - Presiden Filipina, Benigno Aquino, pada Minggu mengumumkan sebuah kesepakatan yang telah dicapai dengan pemberontak separatis Muslim untuk mengakhiri pemberontakan selama beberapa dekade yang telah menewaskan lebih dari 150.000 orang tewas.

      “Perjanjian kerangka kerja ini membuka jalan bagi sebuah akhir dan perdamaian yang abadi di Mindanao,” kata Aquino, merujuk pada sepertiga bagian selatan Filipina yang dianggap oleh Front Pembebasan Islam Moro (MILF) sebagai tanah air leluhur mereka.

      “Ini membawa semua mantan kelompok separatis terkurung. Tidak ada lagi cita-cita bagi Front Pembebasan Islam Moro untuk menjadikan sebuah negara yang terpisah.”

      Aquino mengatakan bahwa kesepakatan itu membuka jalan bagi pembentukan sebuah wilayah Muslim baru yang semi otonom di bagian Mindanao, yang merupakan salah satu dari daerah yang paling kaya akan sumber daya dan subur.

      Namun pemerintah nasional akan mempertahankan kontrol atas pertahanan dan kemanan, serta kebijakan luar negeri dan moneter.

      Aquino mengatakan bahwa kesepakatan yang dicapai setelah melalui banyak putaran perundingan damai di Malaysia, harus diratifikasi oleh masyarakat Filipina melalui sebuah pemungutan suara.

      Aquino tidak memberikan jangka waktu kapan perdamaian akhir dengan MILF yang beranggotakan 12.000 personel akan dicapai, meski para pembantunya sebelumnya mengatakan bahwa kesepakatan tersebut ditujukan sebelum presiden mengakhiri masa jabatannya pada pertengahan 2016.

      Ada sekitar empat juta Muslim di Mindanao, yang mereka anggap sebagai tanah leluhur mereka dari kesultanan Islam di masa lampau yang didirikan sebelum Kristen Spanyol tiba pada tahun 1500-an.

      MILF dan kelompok pemberontak Muslim lainnya telah berjuang untuk kemerdekaan atau otonomi di Mindanao sejak awal 1970-an.

      Pemberontakan itu menewaskan lebih dari 150.000 jiwa, yang sebagian besar terjadi pada 1970-an saat perang habis-habisan berkecamuk, dan meninggalkan sebagian besar Mindanao dalam kemiskinan yang cukup memprihatinkan.

      MILF adalah kelompok pemberontak sayap kiri terbesar dan paling berpengaruh, setelah Front Pembebasan Nasional Moro menandatangani pakta perdamaian dengan pemerintah pada 1996. (kn/ml)

      NU Jerman Desak SBY Rombak Polri Besar-besaran & Tuntut Kapolri Lengser


      Nurul Hidayati - detikNews

      Berbagi informasi terkini dari detikcom bersama teman-teman Anda
      Demo pro KPK di Bundaran HI (7/10)
      Jakarta Insiden Jumat (5/10) malam di KPK tak cuma memprihatinkan kalangan antikorupsi di Tanah Air. Masyarakat Indonesia yang tengah berada di luar negeri juga mengecam insiden yang menambah panjang kasus cicak vs buaya itu.

      Di antara mereka yang memberi perhatian adalah kaum nahdliyin di Jerman. Dalam siaran pers yang disampaikan Ketua Tanfidz PCI NU Jerman kepada detikcom, Minggu (7/10/2012), lembaga tersebut berpendapat telah terlihat kecenderungan penyerangan, baik secara tertutup maupun terbuka yang dilakukan oleh Polri.

      Terhadap hal itu, PCI NU Jerman menyampaikan empat hal:

      1. Mendesak kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersikap tegas dan proaktif untuk menghentikan arogansi Polri yang berada di bawah perintahnya. Sekaligus melakukan perombakan besar-besaran di dalam tubuh Polri.

      2. Menuntut Kapolri Jenderal Timur Pradopo mundur dari jabatannya karena baik diketahui atau tidak, melakukan pembiaran atas intervensi Polri terhadap tugas-tugas KPK. Juga tidak turut mendukung dengan baik dengan menarik penyidik-penyidik Polri di KPK pada saat mereka sedang melakukan pemeriksaan terhadap salah satu petinggi Polri.

      3. Mendesak kepada para anggota DPR RI, tokoh politik dan ormas nasional agar memberikan dukungan penuh kepada KPK agar bebas dari intervensi dan arogansi Polri.

      4. Mengimbau kepada kekuatan masyarakat sipil dan kelompok-kelompok prodemokrasi agar selalu menjalin sinergisitas dalam memantau, mengawal dan mengkritisi secara khusus atas kasus-kasus yang ditangani KPK sekaligus memberikan dukungan secara berlanjut atas usaha dan upaya yang dilakukan oleh KPK.

      "Secara umum, terus mendesak kepada Presiden dalam melakukan restrukturisasi di dalam tubuh Polri," dorong PCI NU Jerman.

      Subscribe To RSS

      Sign up to receive latest news